MK Kabulkan Uji UU Ketenagakerjaan

Frasa “perusahaan tutup” dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaa tup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”. Demikian dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 19/PUU-IX/2011, yang dibacakan dalam n bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tu sidang pembacaan putusan, Rabu (20/6) di ruang sidang Pleno MK.

“Dalil- Jakarta, 20/6 - SIDANG PLENO PUTUSAN. Pemohon Prinsipal Ketua Serikat Pekerja Mandiri Hotel Papandayaan Bandung Asep Ruhiyat (kanan) mengungkapkan rasa bahagia kepada kuasa pekerja Odie Hudiyanto (kiri) seusai pembacaan putusan terkait pengujian UU ketenagakerjaan dalil para Pemohon beralasan sebagian menurut hukum,” ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD. Dalam perkara ini, permohonan para Pemohon dikabulkan sebagian.

Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan tersebut menyatakan, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”.

“Permasalahan yang dihadapi oleh para Pemohon, menurut Mahkamah, tidaklah dapat ditentukan semata-mata hanya karena penerapan hukum belaka mengingat tidak ditemukan definisi yang jelas dan rigid atas frasa ‘perusahaan tutup’ dalam UU 13/2003 apakah perusahaan tutup yang dimaksud adalah tutup secara permanen ataukah hanya tutup sementara. Penjelasan Pasal 164 UU 13/2003 hanya menyatakan ‘cukup jelas’,” papar Mahkamah.

Dengan demikian, lanjut Mahkamah, siapa saja dapat menafsirkan norma tersebut sesuai dengan kepentingannya masing-masing, misalnya menganggap penutupan perusahaan sementara untuk melakukan renovasi merupakan bagian dari efisiensi dan menjadikannya sebagai dasar melakukan PHK. Tafsiran yang berbeda-beda tersebut dapat menyebabkan penyelesaian hukum yang berbeda dalam penerapannya, karena setiap pekerja dapat diputuskan hubungan kerjanya kapan saja dengan dasar perusahaan tutup sementara atau operasionalnya berhenti sementara. “Hal demikian dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi kelangsungan pekerjaan bagi pekerja/buruh di dalam menjalankan pekerjaannya, yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945,” tegas Mahkamah.

Mahkamah berpendapat, PHK merupakan pilihan terakhir sebagai upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan upaya-upaya yang lain dalam rangka efisiensi tersebut. Berdasarkan hal itu, perusahaan tidak dapat melakukan PHK sebelum menempuh beberapa upaya.

Upaya-upaya tersebut telah pula ditentukan oleh MK, yakni: (a) mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur; (b) mengurangi shift; (c) membatasi/menghapuskan kerja lembur; (d) mengurangi jam kerja; (e) mengurangi hari kerja; (f) meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu; (g) tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya; serta (h) memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.

“Karena pada hakikatnya tenaga kerja harus dipandang sebagai salah satu aset perusahaan, maka efisiensi saja tanpa penutupan perusahaan dalam pengertian sebagaimana telah dipertimbangkan dalam paragraf [3.21] tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK,” kata Mahkamah.

Pemohon dalam perkara ini adalah para mantan pegawai Hotel Papandayan Bandung. Mereka merasa dirugikan karena adanya pemutusan hubungan kerja oleh pihak Hotel Papandayan Bandung yang menggunakan pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan sebagai alasan PHK. Saat itu, pihak hotel beralasan untuk efisiensi karena sedang melakukan renovasi.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.