MK: Aturan Persyaratan Pahlawan Nasional Konstitusional
Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian Pasal 1 angka 4, Pasal 25 dan Pasal 26UU No 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang dimohonkan sejumlah aktivis 1998. Dengan penolakan pengujian undang-undang seolah “memuluskan” gelar kepahlawanan yang diperoleh mantan Presiden Soeharto.
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Mahfud MD saat membacakan putusan di ruang sidang MK, Kamis (9/2).
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan pemohon mendalilkan bahwa Pasal 1 angka 4, Pasal 25 dan Pasal 26 itu bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Misalnya, menurut para pemohon Pasal 1 angka 4 UU 20 Tahun 2009 harus diperluas tafsirnya, yaitu warga negara yang mendapat gelar pahlawan nasional bukan hanya yang gugur karena membela bangsa dan negara, tetapi juga membela kebenaran selama berjuang melawan ketidakadilan.
Para pemohon menolak sifat-sifat mantan Presiden Soeharto yang lolos seleksi dan dicalonkan sebagai pahlawan dari daerah Jawa Tengah. Pemohon berpendapat nilai keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, dan kekesatriaan, tidak menjadi bagian dari tafsir Pahlawan Nasional yang dimaksud UU No 20 Tahun 2009.
Mahkamah berpendapat nilai yang diusulkan para pemohon itu telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari makna asas-asas dan syarat pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan yang disebut dalam undang-undang a quo. “Pasal 1 angka 4 UU 20 Tahun 2009 tidak bertentangan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945,” kata Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.
Demikian pula istilah “baik” pada frasa “berkelakuan baik” yang diatur Pasal 25 huruf d UU 20 Tahun 2009 telah jelas merujuk pada nilai baik yang diterima dan dipercaya oleh masyarakat atau bangsa Indonesia pada umumnya. Karenanya, tidak bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. “Begitu juga dengan Pasal Pasal 26 UU No 20 Tahun 2009 tidak bertentangan UUD 1945.”
Menurut Mahkamah, kekhawatiran para pemohon terhadap pemberian tugas kepada militer untuk menjadi anggota Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan akan mengganggu tugas dan profesionalitas militer tidak pada tempatnya. Keberadaan dua orang anggota militer dalam Dewan Gelar tidak berpengaruh signifikan terhadap keseluruhan tugas militer (TNI dan Kepolisian).
Terlebih, UU No 20 Tahun 2009 tidak mensyaratkan militer aktif sebagai anggota Dewan Gelar, melainkan dapat juga orang yang berlatar belakang militer atau purnawirawan. “Keberadaan anggota yang berasal dari unsur “militer dan/atau berlatar belakang militer sebanyak dua orang” seperti diatur Pasal 16 ayat (1) huruf b tidak bertentangan dengan Pasal 30 ayat (1), (2) UUD 1945.”
Untuk mengingatkan, kesebelas aktivis ’98 yang menjadi pemohon adalah M Chozin Amirullah (PB HMI), Asep Wahyu Wijaya (mantan Ketua Senat Mahasiswa Hukum se-Indonesia), Edwin Partogi (Kontras), Ahmad Wakil Kamal (advokat), Abdullah (ICW), Arif Susanto (Dosen Universitas Paramadina), Dani Setiawan (Koordinator Koalisi Anti Hutang), Embay Supriyantoro (pengusaha), Abdul Rohman (pengusaha), Herman Saputra, dan Ahmad Fauzi.
Mereka menguji Pasal 1 angka 4, Pasal 25 dan Pasal 26 UU No 20 Tahun 2009 terkait definisi, syarat umum, dan syarat khusus seseorang untuk diangkat sebagai pahlawan nasional. Pemberlakuan pasal-pasal itu dinilai merugikan hak pemohon sebagaimana diatur Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 berupa jaminan untuk memajukan diri dalam memperjuangkan kepentingan kolektif.
Para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 4, Pasal 25, dan Pasal 26 tidak bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional). Hal ini berarti pasal yang diuji dianggap konstitusional dengan syarat pemberian gelar kepahlawanan itu tidak diberikan kepada warga negara yang semasa hidupnya menjadi pemimpin diktator, pelanggar HAM berat, dan koruptor yang menyengsarakan rakyat.
Sebagaimana diketahui pengujian ini terkait dengan penolakan sejumlah aktivis ’98 terhadap rencana pemerintah memberikan gelar pahlawan kepada (alm) mantan Presiden Soeharto pada menjelang 10 November 2010 lalu. Meski akhirnya, Dewan Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa urung memberikan gelar pahlawan nasional kepada mantan penguasa Orde Baru itu.
Sumber : http://www.hukumonline.com
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Mahfud MD saat membacakan putusan di ruang sidang MK, Kamis (9/2).
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan pemohon mendalilkan bahwa Pasal 1 angka 4, Pasal 25 dan Pasal 26 itu bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Misalnya, menurut para pemohon Pasal 1 angka 4 UU 20 Tahun 2009 harus diperluas tafsirnya, yaitu warga negara yang mendapat gelar pahlawan nasional bukan hanya yang gugur karena membela bangsa dan negara, tetapi juga membela kebenaran selama berjuang melawan ketidakadilan.
Para pemohon menolak sifat-sifat mantan Presiden Soeharto yang lolos seleksi dan dicalonkan sebagai pahlawan dari daerah Jawa Tengah. Pemohon berpendapat nilai keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, dan kekesatriaan, tidak menjadi bagian dari tafsir Pahlawan Nasional yang dimaksud UU No 20 Tahun 2009.
Mahkamah berpendapat nilai yang diusulkan para pemohon itu telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari makna asas-asas dan syarat pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan yang disebut dalam undang-undang a quo. “Pasal 1 angka 4 UU 20 Tahun 2009 tidak bertentangan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945,” kata Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.
Demikian pula istilah “baik” pada frasa “berkelakuan baik” yang diatur Pasal 25 huruf d UU 20 Tahun 2009 telah jelas merujuk pada nilai baik yang diterima dan dipercaya oleh masyarakat atau bangsa Indonesia pada umumnya. Karenanya, tidak bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. “Begitu juga dengan Pasal Pasal 26 UU No 20 Tahun 2009 tidak bertentangan UUD 1945.”
Menurut Mahkamah, kekhawatiran para pemohon terhadap pemberian tugas kepada militer untuk menjadi anggota Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan akan mengganggu tugas dan profesionalitas militer tidak pada tempatnya. Keberadaan dua orang anggota militer dalam Dewan Gelar tidak berpengaruh signifikan terhadap keseluruhan tugas militer (TNI dan Kepolisian).
Terlebih, UU No 20 Tahun 2009 tidak mensyaratkan militer aktif sebagai anggota Dewan Gelar, melainkan dapat juga orang yang berlatar belakang militer atau purnawirawan. “Keberadaan anggota yang berasal dari unsur “militer dan/atau berlatar belakang militer sebanyak dua orang” seperti diatur Pasal 16 ayat (1) huruf b tidak bertentangan dengan Pasal 30 ayat (1), (2) UUD 1945.”
Untuk mengingatkan, kesebelas aktivis ’98 yang menjadi pemohon adalah M Chozin Amirullah (PB HMI), Asep Wahyu Wijaya (mantan Ketua Senat Mahasiswa Hukum se-Indonesia), Edwin Partogi (Kontras), Ahmad Wakil Kamal (advokat), Abdullah (ICW), Arif Susanto (Dosen Universitas Paramadina), Dani Setiawan (Koordinator Koalisi Anti Hutang), Embay Supriyantoro (pengusaha), Abdul Rohman (pengusaha), Herman Saputra, dan Ahmad Fauzi.
Mereka menguji Pasal 1 angka 4, Pasal 25 dan Pasal 26 UU No 20 Tahun 2009 terkait definisi, syarat umum, dan syarat khusus seseorang untuk diangkat sebagai pahlawan nasional. Pemberlakuan pasal-pasal itu dinilai merugikan hak pemohon sebagaimana diatur Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 berupa jaminan untuk memajukan diri dalam memperjuangkan kepentingan kolektif.
Para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 4, Pasal 25, dan Pasal 26 tidak bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional). Hal ini berarti pasal yang diuji dianggap konstitusional dengan syarat pemberian gelar kepahlawanan itu tidak diberikan kepada warga negara yang semasa hidupnya menjadi pemimpin diktator, pelanggar HAM berat, dan koruptor yang menyengsarakan rakyat.
Sebagaimana diketahui pengujian ini terkait dengan penolakan sejumlah aktivis ’98 terhadap rencana pemerintah memberikan gelar pahlawan kepada (alm) mantan Presiden Soeharto pada menjelang 10 November 2010 lalu. Meski akhirnya, Dewan Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa urung memberikan gelar pahlawan nasional kepada mantan penguasa Orde Baru itu.
Sumber : http://www.hukumonline.com
Leave a Comment